Beranda | Artikel
Konsep Zuhud Yang Salah
Selasa, 21 Mei 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Konsep Zuhud Yang Salah ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 12 Dzulqa’dah 1445 H / 20 Mei 2024 M.

Kajian tentang Konsep Zuhud Yang Salah

Zuhud adalah bagaimana seorang hamba bisa membersihkan hatinya dari kecondongan kepada dunia atau terbebasnya hati seseorang dari keterikatan kepada dunia. Maka, kezuhudan itu tidak berkaitan dengan status sosial. Siapapun bisa zuhud apabila dia bisa membebaskan dan melepaskan belenggu dunia dari hatinya, baik itu si kaya maupun si miskin.

Berapa banyak orang-orang miskin gagal zuhud karena di dalam hatinya masih tersimpan belenggu dunia, yaitu ambisi untuk mengejar dunia. Padahal dunia menjauh darinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membentangkan dunia itu untuknya. Dia miskin, tapi hatinya terus terikat dengan dunia, orientasinya kepada dunia, dipenuhi dengan ambisi-ambisi dan ketamakan-ketamakan kepada dunia. Sehingga banyak kita lihat orang miskin main judi, apalagi sekarang ada namanya judi online. Kalau kita lihat, orang-orang yang terjebak dalam praktik judi online banyak di antara mereka justru orang miskin. Kenapa mereka bisa terjerat pada perjudian itu dan mereka tahu itu judi? Karena hati mereka belum terbebas dari belenggu dunia. Padahal mereka miskin, ketamakan dan keserakahan kepada dunia masih menghiasi hati mereka. Lalu bagaimana mereka bisa zuhud?

Jadi, kezuhudan itu juga tidak berkaitan secara langsung dengan status sosial, apakah orang itu miskin atau kaya. Berapa banyak orang-orang kaya justru bisa membebaskan belenggu dunia dari hatinya. Dia menjadi orang kaya yang dermawan, mau berbagi, bahkan mereka berbagi sebelum diminta. Tidak ada ketamakan pada hati mereka, bahkan mereka berusaha menjauh, tapi dunia justru mengejar mereka. Allah takdirkan mereka menjadi orang-orang yang kaya,

 ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ…

“Itulah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki.” (QS. Al-Jumu’ah[62]: 4)

Jadi, kezuhudan juga tidak berkaitan dengan status sosial. Artinya, untuk jadi orang zuhud tidak harus jatuh miskin.

Demikian juga, untuk menjadi orang tawadhu tidak perlu menghinakan diri. Namun, konsep yang ada di kalangan kaum Sufi ini justru agak aneh dan menyimpang. Mereka mengidentikkan kezuhudan dengan kemiskinan. Maka sebelumnya, kita banyak mengupas kisah-kisah atau cerita-cerita dari mereka yang membuang harta untuk memiskinkan diri. Karena menurut mereka, zuhud itu tidak bisa dilakukan kalau tidak miskin. Ini adalah konsep zuhud yang salah.

Demikian juga, kisah-kisah sebelumnya tentang orang-orang Sufi yang sengaja menghinakan diri, menjadikan diri mereka hina supaya bisa menjadi orang yang tawadhu. Untuk bisa menjadi orang shalih, mereka terus ibadah dan meninggalkan aktivitas dunia, seperti mencari nafkah, agar bisa menjadi orang shalih. Seolah-olah, orang yang mencari nafkah dan sibuk dengan dunia tidak bisa menjadi orang shalih. Mereka harus ibadah terus-menerus. Bahkan, kita mungkin pernah mendengar cerita orang-orang yang katanya tidak putus wudhuknya selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, suatu hal yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Ini adalah satu konsep yang salah dalam memahami tawadhu. Qanaah diartikan dengan tidak mencari dunia. Kalau mencari dunia, berarti belum qanaah. Ini adalah konsep yang salah dan pemahaman yang keliru.

Orang yang bekerja untuk kehidupannya di dunia bukan berarti dia tidak qanaah. Karena memang harus dengan usaha, lalu apa yang Allah bagi dia terima, barulah disebut qanaah. Mustahil dikatakan qanaah kalau dia tidak berbuat apa-apa. Demikian juga, konsep tawakal dan lain sebagainya. Pergi haji tawakal, tidak usah bawa bekal. Itu konsep tawakal menurut mereka. Karena kalau bawa bekal, itu belum tawakal. Padahal para ulama mengatakan, tidak akan bisa dilepaskan antara tawakal dan ikhtiar. Itu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan, maka akan batallah maknanya.

Maka, orang yang tidak berikhtiar tidak disebut tawakal. Orang yang tawakal harus berikhtiar. Para ulama mengatakan, tawakal tanpa ikhtiar adalah sesuatu yang sebenarnya bukan tawakal.

Disebutkan dari Muhammad bin Ahmad an-Najari bahwa dia bercerita: Ali bin Babawaih adalah salah seorang yang dikenal sebagai penganut Sufi. Pada suatu ketika, dia membeli daging dan ingin membawanya pulang ke rumah. Namun, karena malu kepada orang-orang di pasar, dia pun mengalungkan daging tersebut di leher lalu membawanya pulang ke rumah. Mungkin supaya dianggap gila, tidak waras, atau supaya dipandang hina oleh orang-orang, untuk menjatuhkan kesombongan dan meraih derajat tawadhu, maka harus menghinakan diri. Ini adalah konsep mereka. Dan kisah-kisah seperti ini banyak.

Ibnul Jauzi memberikan komentar tentang apa yang dinukil oleh Muhammad bin Ahmad an-Najari tadi. Beliau mengatakan, sungguh aneh orang-orang yang hendak menghapus jejak tabiat atau karakternya. Maka ini menjadi suatu hal yang manipulatif, menampilkan sesuatu yang tidak sebenarnya. Keinginan menghapus jejak tabiat ini termasuk perkara yang mustahil dan bukan itu pula yang diinginkan syariat, yaitu kita berpura-pura menampilkan sesuatu yang tidak sebenarnya. Karena di dalam tabiat manusia sudah tertanam rasa ingin terlihat indah dan baik, baik itu dalam berpenampilan maupun berpakaian, ada rasa malu jika menampakkan aurat atau hal yang receh dan hina, serta menyingkap kepala tanpa penutup. Artinya, menampilkan diri kepada manusia dalam bentuk yang mungkin rendah dalam pandangan mereka. Misalnya kita keluar hanya pakai singlet saja, tentunya kita akan malu dan orang akan memandang rendah serta remeh.

Coba lihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau ketika tampil di hadapan publik atau di hadapan umum, selalu memperhatikan penampilan, tampil dengan baik. Terutama ketika kita mendatangi tempat berkumpulnya manusia, apalagi untuk ibadah seperti shalat berjamaah. Maka Allah mengatakan,

 يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ…

“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang terbaik ketika mendatangi masjid.” (QS. Al-A’raf[7]: 31)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperhatikan penampilan beliau, menampilkan diri dalam kondisi yang terbaik, bukan sengaja menampilkan diri dalam kondisi lusuh kemudian memprihatinkan sehingga terlihat buruk oleh manusia.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54177-konsep-zuhud-yang-salah/